Close Menu
seputarbatam.comseputarbatam.com
  • DPR
  • MPR
  • Hukum
  • Kriminal
  • Nasional
  • Peristiwa
  • DPR
  • MPR
  • Hukum
  • Kriminal
  • Nasional
  • Peristiwa
Berita Terkini

Komisi XII Pastikan Migas Jadi Penopang Ekonomi di Era Transisi Energi

Oktober 2, 2025

Charles Honoris Dorong Sistem Pengaduan Berbasis Digital Untuk Program MBG

Oktober 2, 2025

Kalbar Jadi Produsen Utama Arwana, Ekspor Perdana Super Red ke Taiwan Diharapkan Dongkrak Devisa Negara

Oktober 1, 2025
Facebook X (Twitter) Instagram
Facebook X (Twitter) Instagram
seputarbatam.comseputarbatam.com
Login
  • DPR
  • MPR
  • Hukum
  • Kriminal
  • Nasional
  • Peristiwa
seputarbatam.comseputarbatam.com
Home»MPR»Agun Gunandjar: Putusan MK Bukan Hukum Tertinggi, Konstitusi Harus Jadi Rujukan Revisi UU Pemilu
MPR

Agun Gunandjar: Putusan MK Bukan Hukum Tertinggi, Konstitusi Harus Jadi Rujukan Revisi UU Pemilu

redaksiBy redaksiAgustus 7, 2025Tidak ada komentar3 Mins Read
Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa, menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah harus dihormati, namun tidak perlu disikapi secara berlebihan. Ia menilai konstitusi tetap menjadi hukum tertinggi yang harus menjadi rujukan utama dalam pembentukan undang-undang pemilu.

“Putusan MK bukanlah hukum yang paling tinggi. Yang supreme itu konstitusi, bukan lembaganya. Jadi jangan menganggap MK itu super body. Tidak ada lembaga negara yang bersifat suprem dalam sistem ketatanegaraan kita,” kata Agun dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia bertajuk “Menata Ulang Demokrasi: Implikasi Putusan MK dalam Revisi UU Pemilu”, yang digelar di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (6/8/2025).

Diskusi tersebut merupakan kerja sama Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR RI bersama Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP), serta dihadiri puluhan jurnalis dari berbagai media nasional.

Agun menambahkan, DPR dan pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk menyusun dan merumuskan kembali undang-undang pemilu. Ia mendorong agar revisi UU Pemilu mengacu secara ketat pada UUD 1945, termasuk memperhatikan banyaknya putusan MK terdahulu mengenai kepemiluan.

“Ini momentum bagi DPR dan pemerintah untuk menyusun UU Pemilu yang lebih utuh, dengan dasar utama konstitusi. Prinsip NKRI sebagai negara kesatuan dan pemerintahan presidensial harus menjadi acuan utama. Pemilu harus diarahkan untuk memperkuat sistem presidensial dan memperkuat kedaulatan rakyat,” ujarnya.

Agun juga menyoroti pentingnya membedakan mekanisme pemilu nasional dan daerah berdasarkan amanat pasal-pasal dalam UUD, yakni Pasal 22E dan Pasal 18. Menurutnya, pemilihan kepala daerah memang seharusnya tidak disamakan dengan pemilu legislatif karena adanya nilai-nilai lokal (local wisdom) dan dinamika sosial yang berbeda-beda di tiap daerah.

Kritik terhadap MK

Sementara itu, Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI), Abdul Hakim MS, mengkritisi kecenderungan MK yang menurutnya telah menjalankan fungsi judicial activism, bukan sekadar_ judicial restraint_. Ia menilai, MK telah memasuki wilayah pembentuk norma, yang seharusnya menjadi ranah legislatif.

“Putusan MK bersifat final dan mengikat, tapi tidak punya challenger. Ketika sembilan hakim MK memutus suatu perkara, siapa yang bisa membanding atau menyeimbanginya? Tidak ada,” ujar Abdul Hakim.

Menurutnya, keputusan MK untuk memisahkan pemilu nasional dan daerah memiliki konsekuensi besar dan tidak bisa diputus secara sepihak, apalagi tanpa diskusi yang cukup dengan pemangku kepentingan seperti KPU, Bawaslu, DPR, maupun masyarakat sipil.

“Ini keputusan yang berdampak pada ratusan juta rakyat Indonesia. Apakah MK sudah berdialog dengan KPU atau Bawaslu sebelum memutus? Belum. Tapi konsekuensinya luar biasa. Bahkan bisa menabrak empat undang-undang yang sudah ada,” ujarnya.

Abdul Hakim juga menilai keputusan MK terkait pemilu ini bisa menggeser masa jabatan DPRD dari lima tahun menjadi tujuh tahun jika tidak dikawal hati-hati, karena adanya pergeseran jadwal pemilu nasional dan daerah. Ia pun mendorong agar diskursus mengenai MK sebagai lembaga super body segera dikaji ulang.

“Sudah saatnya ada pembanding bagi MK. Kalau ada pelanggaran etik, hakim MK diadili oleh siapa? MK sendiri. Anggotanya dipilih sendiri. Ini tidak sehat bagi sistem demokrasi kita,” pungkasnya.

Indonesia MPR RI
Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
redaksi

Related Posts

Komisi XII Pastikan Migas Jadi Penopang Ekonomi di Era Transisi Energi

Oktober 2, 2025

Charles Honoris Dorong Sistem Pengaduan Berbasis Digital Untuk Program MBG

Oktober 2, 2025

Kalbar Jadi Produsen Utama Arwana, Ekspor Perdana Super Red ke Taiwan Diharapkan Dongkrak Devisa Negara

Oktober 1, 2025
Leave A Reply Cancel Reply

Berita Terkini

Komisi XII Pastikan Migas Jadi Penopang Ekonomi di Era Transisi Energi

Oktober 2, 2025

Charles Honoris Dorong Sistem Pengaduan Berbasis Digital Untuk Program MBG

Oktober 2, 2025

Kalbar Jadi Produsen Utama Arwana, Ekspor Perdana Super Red ke Taiwan Diharapkan Dongkrak Devisa Negara

Oktober 1, 2025

Hakim Harus Dimuliakan, Perhatikan Juga Kesejahteraannya

Oktober 1, 2025

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from SmartMag about art & design.

Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Privacy Policy
  • Redaksi
© 2025 Seputarbatam.com. Designed by Aco.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

Sign In or Register

Welcome Back!

Login to your account below.

Lost password?